Jumat, 29 Mei 2015

“Pengelolaan Lahan Kering Pada Dataran Tinggi”



Tugas makalah

PENGELOLAAN LAHAN KERING
Pengelolaan Lahan Kering Pada Dataran Tinggi




 
SITTI SARNI              (D1B1 11 037)
FITMAN                     (D1B1 12 067)
FIRMANSYAH. L    (D1B1 12 076)
JUSMIN                     (D1B1 12 077)
NURCARDIANA     (D1B1 11 029)




PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
JURUSAN AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
2 0 1 5


KATA PENGANTAR



Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat, Berkah dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah . makalah ini berjudul Pengelolaan Lahan Kering Pada Dataran Tinggi.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak akan terselesaikan dan berjalan dengan baik tanpa bimbingan dan dukungan serta motivasi dari beberapa pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada teman-teman sekelompok yang telah banyak membantu dalam penyusunan makalah ini.
Akhir kata sebagai manusia biasa penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik, saran dan masukan konstruktif yang bersifat membangun dari semua pihak untuk perbaikan dan penyempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Kendari,      April  2015

Penulis 





DAFTAR ISI
            Teks                                                                                                Halaman
Kata Pengantar................................................................................................... i
Daftar isi............................................................................................................... ii
I.       PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang..........................................................................................  
B.     Perumusan Masalah...................................................................................  
C.     Tujuan dan Kegunaan...............................................................................  
II.    PEMBAHASAN
A.    Potensi Lahan Kering Pada Dataran Tinggi…………………………….
B.     Kendala Lahan Kering Pada Dataran Tinggi……………………………
C.     teknologi pengelolaan lahan kering………………………………………
D.    strategi pengelolaan lahan kering………………………………………..
           
III. KESIMPULAN DAN SARAN
A.    Kesimpulan................................................................................................
B.     Saran..........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA






BAB I

PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

Lahan (land) atau sumberdaya lahan (land resources) menurut Sitorus (2000) adalah lingkungan fisik yang terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada diatasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan tanah.  Dalam hal ini tanah juga mengandung pengertian ruang atau tempat. Sumberdaya tanah merupakan sumberdaya alam yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia karena sumberdaya alam diperlukan dalam setiap kehidupan. Menurut Mintzberg (1997), lahan adalah hamparan di muka bumi berupa suatu tembereng, (segment) sistem terestik yang merupakan suatu perpaduan sejumlah sumberdaya alam dan binaan. Lahan juga merupakan wahana sejumlah ekosistem. Lahan merupakan suatu wilayah (regional), yaitu suautu satuan ruangan berupa suatu lingkungan hunian masyarakat manusia dan masyarakat hayati yang lain. Menurut pengertian ekologi, lahan adalah habitat. Penggunaan lahan (land use) adalah setiap bentuk campur tangan (interfensi) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, baik material maupun spiritual (Sitorus, 2000). Dalam hal ini dapat berupa penggunaan lahan utama atau penggunaan pertama dan kedua (apabila merupakan penggunaan ganda) dari sebidang tanah, seperti tanah pertanian, tanah hutan, padang rumput dan sebagainya. Jadi lebih merupakan tingkat pemanfaatan oleh masyarakat.
Pengelolaan sumberdaya lahan adalah segala tindakan atau perlakuan yang diberikan pada sebidang tanah untuk menjaga dan mempertinggi produksi lahan tersebut. Lanskap adalah gabungan fitur-fitur buatan dan alamiah yang membentuk karakteristik permukaan tanah, yang meliputi aspek spasial, tekstural, komposisional dan dinamika tanah (Marsh, 1983). Irwan (1992), menyatakan lanskap merupakan wajah dan karakter lahan atau panorama dengan segala kehidupan apa saja yang ada didalamnya, baik yang bersifat alami, non alami atau gabungan keduanya yang merupakan bagian total lingkungan hidup manusia beserta makhluk hidup lainnya.
Motloch (1993), menyatakan lanskap dalam definisi kontemporernya meliputi daerah yang masih liar dan daerah yang terhuni. Daerah yang masih liar adalah lanskap alami dan daerah yang berpenghuni adalah lanskap buatan. Lanskap juga berarti suatu keadaan pada suatu masa yang merupakan bagian ekspresi dan pengaruh dari unsur-unsur ekologi, teknologi dan budaya. Pada lahan pasca tambang terjadi perubahan kemampuan dari muka bumi, sehingga secara estetika tanah pasca tambang tidak baik, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Untuk itu perlu dilakukan sesuatu upaya reklamasi lahan agar dapat meningkatkan kualitas lingkungan secara keseluruhan dan tanah dapat bermanfaatkan kembali.
B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas maka di rumuskan masalah sebagai berikut :
1)      Bagaimanakah potensi lahan kering pada dataran tinggi ?
2)      Kendala apa yang terdapat  dilahan kering pada dataran tinggi ?
3)      Bagaimana cara untuk mengatasi kendala tersebut ?
C.    Tujuan dan Kegunaan

Tujuan dari makalah ini yaitu untuk mengetahui potensi dan kendala pada lahan kering di dataran tinggi serta mengetahui cara/metode untuk mengatasi kendala tersebut.
Kegunaan dari makalah ini sebagai bahan informasi bagi mahasiswa dan petani potensi dan kendala pada lahan kering di dataran tinggi dan pendekatan yang di gunakan untuk mengatasi masalah pada lahan kering di dataran tinggi.




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Potensi Lahan Kering Pada Dataran Tinggi

Lahan kering merupakan salah satu agroekosistem yang mempunyai potensi besar untuk usaha pertanian, baik tanaman pangan, hortikultura (sayuran dan buah- buahan) maupun tanaman tahunan dan peternakan. Berdasarkan Atlas Arahan Tata Ruang Pertanian Indonesia skala 1:1.000.000 (Pusat Penelitian dan Pengem- bangan Tanah dan Agroklimat 2001), Indonesia memiliki daratan sekitar 188,20 juta ha, terdiri atas 148 juta ha lahan kering (78%) dan 40,20 juta ha lahan basah (22%). Tidak semua lahan kering sesuai untuk pertanian, terutama karena adanya faktor pembatas tanah seperti lereng yang sangat curam atau solum tanah dangkal dan berbatu, atau termasuk kawasan hutan. Dari total luas 148 juta ha, lahan kering yang sesuai untuk budi daya pertanian hanya sekitar 76,22 juta ha (52%), sebagian besar terdapat di dataran rendah (70,71 juta ha atau 93%) dan sisanya di dataran tinggi. Di wilayah dataran rendah, lahan datar bergelombang (lereng < 15%) yang sesuai untuk pertanian tanaman pangan mencakup 23,26 juta ha. Lahan dengan lereng 15-30% lebih sesuai untuk tanaman tahunan (47,45 juta ha). Di dataran tinggi, lahan yang sesuai untuk tanaman pangan hanya sekitar 2,07 juta ha, dan untuk tanaman tahunan 3,44 juta ha.
B.     Kendala Lahan Kering Pada Dataran Tinggi
Permasalahan dalam  pengelolaan lahan kering bervariasi pada setiap wilayah, baik aspek teknis maupun sosial-ekonomis. Namun, dengan strategi dan teknologi yang tepat, berbagai masalah tersebut dapat diatasi.


Kesuburan tanah
Pada umumnya lahan kering memiliki tingkat kesuburan tanah yang rendah, ter- utama pada tanah-tanah yang tererosi, sehingga lapisan olah tanah menjadi tipis dan kadar bahan organik rendah. Kondisi ini makin diperburuk dengan terbatasnya penggunaan pupuk organik, terutama pada tanaman pangan semusim. Di samping itu, secara alami kadar bahan organik tanah di daerah tropis cepat menurun, mencapai 3060% dalam waktu 10 tahun (Brown dan  Lugo 1990 dalam Suriadikarta et al. 2002). Bahan organik memiliki peran penting dalam memperbaiki sifat kimia, fisik, dan biologi tanah. Meski- pun kontribusi unsur hara dari bahan or- ganik tanah relatif rendah, peranannya cukup penting karena selain unsur NPK, bahan organik juga merupakan sumber unsur esensial lain seperti C, Zn, Cu, Mo, Ca, Mg dan Si (Suriadikarta et al. 2002).
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah adanya tanah masam, yang dicirikan oleh pH rendah (< 5,50), kadar Al tinggi, fiksasi P tinggi, kandungan basa-basa dapat tukar dan KTK rendah, kandungan besi dan mangan mendekati batas me- racuni tanaman, peka erosi, dan miskin unsur biotik (Adiningsih dan Sudjadi 1993; Soepardi 2001). Dari luas total lahan kering Indonesia sekitar 148 juta ha, 102,80 juta ha (69,46%) merupakan tanah masam (Mulyani et al. 2004). Tanah tersebut didominasi oleh Inceptisols, Ultisols dan Oxisols dan sebagian besar terdapat di Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Lahan kering masam di wilayah berbukit dan bergunung cukup luas, mencapai 53,50 juta ha atau 52% dari total tanah masam di Indonesia. Tanah masam tersebut umumnya kurang potensial untuk pertanian tanaman pangan karena tingkat kesuburannya rendah, lereng curam dan solum dangkal.
 
Topografi
Di Indonesia, lahan kering sebagian besar terdapat di wilayah bergunung (> 30%) dan berbukit (1530%), dengan luas masing-masing 51,30 juta ha dan 36,90 juta ha (Hidayat dan Mulyani 2002). Lahan kering berlereng curam sangat peka terhadap erosi, terutama bila diusahakan untuk tanaman pangan semusim dan curah hujannya tinggi. Lahan semacam ini lebih sesuai untuk tanaman tahunan, namun ke- nyataannya banyak dimanfaatkan untuk tanaman pangan, sedangkan perkebunan banyak diusahakan pada lahan datar bergelombang dengan lereng < 15%. Lahan kering yang telah dimanfaatkan untuk perkebunan mencakup 19,60 juta ha (Badan Pusat Statistik 2005), terutama untuk tanaman kelapa sawit, kelapa dan karet.
Kepemilikan lahan
Tantangan yang lebih berat dan sukar di- atasi adalah permasalahan sosial ekonomi, antara lain pemilikan lahan oleh petani cenderung menyempit. Data sensus pertanian tahun 1993 dan 2003, serta hasil penelitian Puslitbangtanak pada tahun 2002/2003 (Abdurachman et al. 2005) menunjukkan luas lahan pertanian di Jawa cenderung menurun, sedangkan di luar Jawa sedikit meningkat. Di lain pihak jumlah rumah tangga petani (RPT) meningkat secara signifikan dari 22,40 juta menjadi 27,40 juta dalam sepuluh tahun terakhir. Luas penguasaan lahan rata-rata nasional menurun dari 0,86 ha menjadi 0,73 ha per RTP. Sejalan dengan itu, jumlah petani gurem (luas lahan garapan < 0,50 ha) meningkat dari 10,80 juta RTP pada tahun 1993 menjadi 13,70 juta pada tahun 2003, atau rata-rata meningkat 2,40%/tahun. Bila luas lahan pertanian tidak bertambah secara signifikan seiring dengan laju per- tambahan penduduk maka jumlah petani gurem akan makin bertambah dan peluang perambahan hutan meningkat.



C.    TEKNOLOGI PENGELOLAAN LAHAN KERING
Dari segi luas, potensi lahan kering di Indonesia tergolong tinggi, namun terdapat permasalahan biofisik dan sosial ekonomi yang harus diatasi untuk me- ningkatkan produktivitasnya secara berkelanjutan. Beberapa tindakan untuk menanggulangi faktor pembatas biofisik lahan meliputi pengelolaan kesuburan tanah, konservasi dan rehabilitasi tanah, serta pengelolaan sumber daya air secara efisien.
Pengelolaan Kesuburan Tanah
Pengelolaan kesuburan tanah tidak terbatas pada peningkatan kesuburan kimiawi, tetapi juga kesuburan fisik dan biologi tanah. Hal ini berarti bahwa pengelolaan kesuburan tanah tidak cukup dilakukan hanya dengan memberikan pupuk saja, tetapi juga perlu disertai dengan pemeliharaan sifat fisik tanah sehingga tersedia lingkungan yang baik untuk pertumbuhan tanaman, kehidupan organisme tanah, dan untuk mendukung berbagai proses penting di dalam tanah.
Salah satu teknologi pengelolaan kesuburan tanah yang penting adalah pe- mupukan berimbang, yang mampu me- mantapkan produktivitas tanah pada level yang tinggi. Hasil penelitian Santoso et al. (1995) menunjukkan pentingnya pemupukan berimbang dan pemantauan status hara tanah secara berkala. Peng- gunaan pupuk anorganik yang tidak tepat, misalnya takaran tidak seimbang, serta waktu pemberian dan penempatan pupuk yang salah, dapat mengakibatkan ke- hilangan unsur hara sehingga respons tanaman menurun (Santoso dan Sofyan 2005). Hara yang tidak termanfaatkan tanaman juga dapat berubah menjadi bahan pencemar. Praktek pemakaian pupuk oleh petani pada lahan-lahan mine- ral masam, meskipun pada saat ini masih dilakukan dengan takaran rendah, dalam jangka panjang dapat menimbulkan ke- tidakseimbangan kandungan hara tanah sehingga menurunkan produktivitas tanaman.

Penerapan teknologi pemupukan organik juga sangat penting dalam pe- ngelolaan kesuburan tanah. Pupuk orga- nik dapat bersumber dari sisa panen, pupuk kandang, kompos atau sumber bahan organik lainnya. Selain menyum- bang hara yang tidak terdapat dalam pupuk anorganik, seperti unsur hara mikro, pupuk organik juga penting untuk mem- perbaiki sifat fisik dan biologi tanah. Lahan kering akan mampu menyediakan air dan hara yang cukup bagi tanaman bila struktur tanahnya baik sehingga men- dukung peningkatan efisiensi pemupukan.
Jenis pupuk lain yang mulai ber- kembang pesat adalah pupuk hayati (biofertilizer) seperti pupuk mikroba pelarut fosfat, pupuk mikroba pemacu tumbuh dan pengendali hama, dan mikro- flora tanah multiguna. Pupuk hayati selain mampu meningkatkan ketersediaan hara, juga bermanfaat untuk: 1) melindungi akar dari gangguan hama penyakit, 2) men- stimulasi sistem perakaran agar ber- kembang sempurna dan memperpanjang usia akar, 3) memacu mitosis jaringan meristem pada titik tumbuh pucuk, kuncup bunga, dan stolon, 4) penawar racun be- berapa logam berat, 5) metabolit pengatur tubuh, dan 6) bioaktivator perombak bahan organik.
Di samping pemupukan, pengapuran juga penting untuk meningkatkan produk- tivitas tanah masam, antara lain untuk mengurangi keracunan aluminium (Al). Cara untuk menentukan takaran kapur yang perlu diberikan adalah dengan me- nentukan sensitivitas tanaman dan kemudian mengukur kejenuhan Al dalam tanah dengan analisis tanah (Dierolf dalam Santoso dan Sofyan 2005).
Konservasi Tanah dan Rehabilitasi Lahan
Erosi merupakan salah satu penyebab menurunnya produktivitas lahan kering, terutama yang dimanfaatkan untuk usaha tani tanaman semusim seperti tanaman pangan (Abdurachman dan Sutono 2005; Kurnia et al. 2005). Hasil penelitian me- nunjukkan budi daya tanaman pangan semusim tanpa disertai konservasi tanah menyebabkan erosi berkisar antara 46351 t/ha/tahun (Sukmana 1994; 1995).
Erosi bukan hanya mengangkut material tanah, tetapi juga hara dan bahan organik, baik yang terkandung di dalam tanah maupun yang berupa input pertani- an. Erosi juga merusak sifat fisik tanah. Oleh karena itu, penerapan teknik konser- vasi merupakan salah satu prasyarat keberlanjutan usaha tani pada lahan ke- ring. Target yang harus dicapai adalah menekan erosi sampai di bawah batas toleransi, dengan kisaran antara 1,1013,50 t/ha/tahun, bergantung pada sifat tanah dan substratanya (Thompson dalam Arsyad 2000). Untuk menekan erosi sam- pai di bawah ambang batas toleransinya, beberapa jenis teknik konservasi dapat diterapkan dengan memperhatikan per- syaratan teknis (Agus et al. 1999).
Teras bangku merupakan teknik konservasi yang banyak diterapkan di Jawa dan Bali. Teknik ini telah dikembangkan secara luas sejak tahun 1975 melalui inpres penghijauan (Siswomartono et al. 1990). Teras bangku cukup disukai petani, dan juga efektif mencegah erosi dan aliran permukaan (Abdurachman dan Sutono
2005). Beberapa teknik konservasi lain dapat dijadikan alternatif, seperti teras gulud untuk tanah yang dangkal (< 40 cm), rorak atau teknik konservasi vegetatif seperti alley cropping dan strip rumput. Selain murah, teknik konservasi vegetatif memiliki keunggulan lain, yaitu dapat ber- fungsi sebagai sumber pakan dan pupuk hijau atau bahan mulsa, bergantung pada jenis tanaman yang digunakan. Dalam prakteknya, penerapan teknik konservasi mekanik sering dikombinasikan dengan teknik vegetatif, karena efektif dalam mengendalikan erosi (Dariah et al. 2004; Santoso et al. 2004) dan lebih cepat diadopsi petani.
Pengaturan pola tanam dengan mengusahakan permukaan lahan selalu tertutup oleh vegetasi dan/atau sisa-sisa tanaman atau serasah, juga berperan pen- ting dalam konservasi tanah. Pengaturan proporsi tanaman semusim dan tahunan pada lahan kering juga penting; makin curam lereng sebaiknya makin tinggi proporsi tanaman tahunan. Pengaturan jalur penanaman atau bedengan yang searah kontur juga berkontribusi dalam mencegah erosi.

Pengolahan tanah secara intensif merupakan penyebab penurunan produk tivitas lahan kering. Hasil penelitian me- nunjukkan bahwa pengolahan tanah yang berlebihan dapat merusak struktur tanah (Larson dan Osborne 1982; Suwardjo et al. 1989) dan menyebabkan kekahatan bahan organik tanah (Rachman et al.
2004). Olah tanah konservasi (OTK) me- rupakan alternatif penyiapan lahan yang dapat mempertahankan produktivitas lahan tetap tinggi (Brown et al. 1991; Wagger dan Denton 1991). OTK dicirikan oleh berkurangnya pembongkaran atau pembalikan tanah, mengintensifkan peng- gunaan sisa tanaman atau bahan lainnya sebagai mulsa, kadang-kadang (namun tidak dianjurkan) disertai penggunaan herbisida untuk menekan pertumbuhan gulma atau tanaman pengganggu lainnya.
Rehabilitasi lahan-lahan terdegradasi dapat mendukung optimalisasi lahan kering, antara lain dengan menanam legum penutup tanah atau tanaman penghasil bahan organik lainnya, khususnya yang bersifat in situ seperti alley cropping dan strip cropping. Penggunaan bahan pembenah tanah baik organik maupun mineral juga dapat merehabilitasi lahan terdegradasi.

D.    STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN KERING
Pertanian lahan kering tidak memerlukan banyak air, seperti halnya budi daya padi sawah, sementara ketersediaan lahan kering masih luas. Selain itu, teknologi pengelolaan lahan kering cukup banyak tersedia. Namun, pemanfaatan kedua komponen tersebut dan pelaksanaannya di lapangan memerlukan perencanaan dan strategi yang tepat.
Identifikasi Lahan yang Sesuai
Cara yang dapat digunakan untuk meng- identifikasi lahan yang sesuai untuk per- tanian, terutama lahan alang-alang dan semak belukar adalah dengan mengguna- kan   peta   penggunaan   lahan   skala  1:250.000 yang ditumpangtepatkan dengan peta arahan tata ruang pertanian. Dengan cara ini, diperoleh data tentang lahan kering cadangan seluas 22,39 juta ha, yang terdiri atas 7,08 juta ha sesuai untuk tanaman pangan semusim dan 15,31 juta ha untuk tanaman tahunan.
Untuk memperoleh data yang lebih tepat, harus digunakan peta tanah atau peta kesesuaian dan peta penggunaan lahan dengan skala yang lebih besar, misalnya 1:50.000 atau lebih baik lagi skala 1:25.000. Selain itu, data biofisik lahan perlu ditunjang dengan informasi sosial- ekonomi, terutama status kepemilikan lahan, sehingga pengembangan pertanian tidak terbentur pada permasalahan non- teknis, yang dapat menggagalkan pen dayagunaan lahan kering yang telah direncanakan.
Seleksi Teknologi Tepat Guna
Teknologi pengelolaan lahan kering untuk pertanian tanaman pangan telah tersedia, baik teknologi konservasi tanah, pening- katan kesuburan tanah, pengelolaan bahan organik tanah, dan pengelolaan air. Dari sekumpulan teknologi tersebut, perlu diseleksi teknologi yang tepat guna, sesuai dengan kondisi lahan (tanah, air, dan iklim) dan petani. Oleh karena itu, perlu diketahui terlebih dulu karakteristik lahan dan kondisi petani agar teknologi yang terpilih betul-betul efektif dan dapat di- adopsi petani.
Karakteristik lahan dapat diketahui melalui pemetaan skala detail (1:50.000 atau 1:25.000), atau lebih detail, skala 1:10.000 atau 1:5.000. Dengan menggunakan peta dengan skala sangat detail, pemilihan komoditas dan teknologi dapat dilakukan dengan lebih tepat. Aspek sosial-ekonomi petani dapat diketahui dengan melaksanakan survei lapangan, misalnya dengan menggunakan metode Participatory Rural Appraisal (PRA).
Diseminasi Teknologi
Diseminasi dan adopsi teknologi pada umumnya berjalan lambat, termasuk teknologi pengelolaan lahan (tanah, air dan iklim). Teknologi tersebut disebarkan melalui seminar, simposium, jurnal serta media cetak dan elektronik. Namun akses penyuluh apalagi petani ke media tersebut relatif terbatas, sehingga cara dan media penyampaian tersebut kurang efektif. Oleh karena itu, diperlukan metode diseminasi secara langsung kepada petani, yang lebih mendekatkan sumber teknologi dengan petani sebagai calon pengguna teknologi.
Salah satu terobosan dalam diseminasi teknologi pertanian adalah melalui Prima Tani (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2006), yang bertujuan untuk mempercepat diseminasi dan adopsi teknologi inovatif, terutama yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian. Melalui program ini, pertanian lahan kering, termasuk pengembangan budidaya padi gogo, palawija dan sebagainya, misalnya dengan introduksi benih unggul, pe- mupukan, dan rotasi tanaman, dapat berkembang lebih cepat dan mampu meningkatkan produksi bahan pangan nasional secara signifikan.

Peningkatan Penelitian Pertanian Lahan Kering
Penelitian padi saat ini lebih terfokus pada padi sawah, yang telah menghasilkan berbagai varietas unggul dan teknologi budidaya seperti pengendalian hama/ penyakit, pemupukan, dan pengairan. Penelitian dan pengembangan padi gogo jauh tertinggal. Sejalan dengan itu, minat dan upaya petani untuk mengembangkan padi gogo juga relatif rendah, tercermin dari luas pertanaman setiap tahun yang jauh lebih rendah dari luas lahan sawah. Ke depan, penelitian dan pengembangan pertanian lahan kering perlu mendapat perhatian yang lebih besar, ter- masuk pembiayaannya. Akan lebih baik bila penelitian diarahkan pada teknologi pengelolaan padi gogo dan palawija sebagai bagian dari sistem usaha tani ( farming  system)  yang  disesuaikan dengan kondisi spesifik lokasi. Penelitian hendaknya dilaksanakan secara kompre- hensif, dalam arti peneliti tidak bekerja sendiri-sendiri, tetapi dalam suatu tim dari berbagai disiplin ilmu, sehingga dapat menghasilkan teknologi yang efektif dan menguntungkan.




BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN


A.       Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas maka dapat di simpulkan sebagai berikut :
1)         Di wilayah dataran tinggi, lahan yang sesuai untuk tanaman pangan mencakup 2,10 juta ha. Namun, lahan tersebut sebagian besar telah digunakan untuk berbagai kepentingan, baik pertanian maupun nonpertanian. Lahan kering yang dapat digolongkan sebagai cadangan untuk tanaman pangan semusim tersedia sekitar 7,08 juta ha, yang saat ini berupa lahan alang-alang atau semak-belukar
2)         Upaya pengelolaan lahan kering untuk meningkatkan produksi bahan pangan menghadapi permasalahan teknis dan sosial-ekonomis, antara lain lahan berlereng terjal, kesuburan tanah rendah, kemasaman tinggi, kekurangan air irigasi, dan status kepemilikan lahan tidak jelas. Berbagai masalah tersebut perlu diatasi dengan menerapkan teknologi, kelembagaan dan kebijakan pemerintah yang tepat.
3)         Berbagai teknologi pengelolaan lahan kering telah tersedia, mencakup pengelolaan kesuburan tanah, pengendalian erosi (konservasi tanah), rehabilitasi lahan, dan pengelolaan sumber daya air secara efisien. Yang menjadi masalah adalah lemahnya diseminasi teknologi inovatif kepada para petani dan lambat nya adopsi teknologi tersebut.
B.        Saran
Adapun saran untuk makalah ini yaitu perlu dilakukan penelitian tentang pengeloaan lahan kering di dataran tinggi agar bisa dikelola secara efektif dan efisien.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurachman, A., A. Mulyani, G. Irianto, dan N. Heryani. 2005. Analisis potensi sumber daya lahan dan air dalam mendukung pemantap- an ketahanan pangan. hlm. 245-264. Dalam Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi  VIII,  17- 19  Mei  2004.  Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. LIPI bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik, Departemen Kesehatan, Bappenas, Departemen Pertanian, dan Kementerian Riset dan Teknologi, Jakarta.

Abdurachman, A. dan S. Sutono. 2005. Teknologi pengendalian erosi lahan berlereng. hlm. 103-145. Dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering: Menuju pertanian produktif dan ramah lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Adiningsih, J.S. dan M. Sudjadi. 1993. Peranan sistem bertanam lorong (alley cropping) dalam meningkatkan kesuburan tanah pada lahan kering masam. Risalah Seminar Hasil Penelitian Tanah  dan Agroklimat. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Agus, F., A. Abdurachman, A. Rachman, S.H. Talao’ohu, A. Dariah, B.R. Prawiradiputra, B. Hafif, dan S. Wiganda. 1999. Teknik Konservasi Tanah dan Air. Sekretariat Tim Pengendali Bantuan Penghijauan dan Reboi- sasi Pusat. Departemen Kehutanan, Jakarta.

Agus, F., E. Surmaini, dan N. Sutrisno. 2005. Teknologi hemat air dan irigasi suplemen. hlm. 223-245. Dalam Teknologi Pengelola- an Lahan Kering: Menuju pertanian produktif dan ramah lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Amien, L.I., S. Purba, B. Sugiharto, dan A . Hamdani. 2001. Analisis pasokan dan ke- butuhan air untuk pertanian pangan dan kebutuhan lainnya. Laporan Akhir Peneliti- an. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Arsyad, S. 2000. Pengawetan Tanah dan Air. Departemen Ilmu-Ilmu Tanah, Fakultas Per- tanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2006. Pedoman Umum Prima Tani. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2005. Statistik Indonesia tahun 2005. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Brown, R.E., J.L. Havlin, D.J. Lyons, C.R. Fenster, and G.A. Peterson. 1991. Long-term tillage and nitrogen effects on wheat production in a wheat fallow rotation. In Agronomy Abstracts. Annual Meetings ASA, CSSA, and SSSA,  Denver  Colorado,  27  October–1  November 1991. 326 pp.

Dariah, A., U. Haryati, dan T. Budhyastoro. 2004. Teknologi konservasi mekanik. hlm. 109-132. Dalam Konservasi Tanah pada Lahan Kering Berlereng. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Hidayat, A. dan A. Mulyani. 2002. Lahan kering untuk  pertanian.  hlm.  1- 34.  Dalam  A. Abdurachman, Mappaona, dan Saleh (Ed.). Pengelolaan Lahan Kering Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Isa, I. 2006. Strategi pengendalian alih fungsi tanah pertanian. Prosiding Seminar Multi- fungsi dan Revitalisasi Pertanian. Balai Penelitian Tanah, Bogor. hlm. 17.

Kurnia, U., Sudirman, dan H. Kusnadi. 2005. Teknologi rehabilitasi dan reklamasi lahan. hlm. 147-182. Dalam Teknologi Pengelola- an Lahan Kering: Menuju pertanian produktif dan ramah lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Larson, W.E. and G.J. Osborne. 1982. Tillage accomplishments and potential. In Predicting Tillage Effects on Soil Physical Properties and Processes. ASA Special Publ. No. 44.

Las, I., S. Purba, B. Sugiharto, dan A. Hamdani 2000. Proyeksi kebutuhan dan pasokan pangan tahun 2000-2020. Pusat Penelitian Tanah dan
  
Mulyani, A., Hikmatullah, dan H. Subagyo. 2004. Karakteristik dan potensi tanah masam lahan kering di Indonesia. hlm. 1-32. Dalam Prosi- ding Simposium Nasional Pendayagunaan Tanah Masam. Pusat Penelitian dan Pe- ngembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. 2001. Atlas Arahan Tata Ruang Pertanian Indonesia Skala 1:1.000.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. 37 hlm.

Rachman, A., A. Dariah, dan E. Husen.   2004. Olah tanah konservasi. hlm. 189-210. Dalam Teknologi Konservasi Tanah pada Lahan Kering Berlereng. Pusat Penelitian dan Pe- ngembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Santoso, D., I P.G. Wigena, Z. Eusof, and C. Xuhui.   1995.   The Asian land management of sloping lands network: Nutrient balance.

Siswomartono, D., A.N. Gintings, K. Sebayong, and S. Sukmana. 1990. Development of con- servation farming systems, Indonesia Country Review. Regional Action Learning Programme on the Development of Conservation Farming Systems. Report of the Inaugural Workshop. Chiang Mai, 23 February-1 March 1990. ASOCON Report No. 2.

Sitorus, S.H.P. (1995), Evaluasi Sumberdaya Lahan, Tarsito, Bandung.

Soepardi, H.G. 2001. Strategi usaha tani agri- bisnis berbasis sumber daya lahan. hlm. 35-52. Prosiding Nasional Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Pupuk Buku I. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Subagyono, K.   1996. Water Use Efficiency and Available Water Capacity for Irrigated Corn in Reclaimed  Saline  Soil. MSc. Thesis. International Training Center for Post- Graduate Soil Science, Faculty of Science, University of Gent, Belgium.

Subagyono, K., U. Haryati, dan S.H. Talao'ohu. 2004. Teknologi konservasi air pada pertani- an  lahan  kering.  hlm.  151- 188.  Dalam Konservasi Tanah pada Lahan Kering Berlereng. Pusat Penelitian dan Pengem- bangan Tanah dan Agroklimat, Bogor