Tugas makalah
PENGELOLAAN LAHAN KERING
“Pengelolaan Lahan Kering Pada Dataran Tinggi”
FITMAN (D1B1
12 067)
FIRMANSYAH. L (D1B1
12 076)
JUSMIN (D1B1
12 077)
NURCARDIANA (D1B1
11 029)
PROGRAM
STUDI AGROTEKNOLOGI
JURUSAN
AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS
PERTANIAN
UNIVERSITAS
HALU OLEO
2
0 1 5
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis
panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat, Berkah dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah . makalah ini berjudul Pengelolaan Lahan Kering Pada Dataran Tinggi.
Penulis
menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak akan terselesaikan dan berjalan dengan baik
tanpa bimbingan dan dukungan serta motivasi dari beberapa pihak. Oleh karena
itu penulis mengucapkan terima kasih kepada teman-teman sekelompok yang telah banyak membantu dalam penyusunan
makalah ini.
Akhir kata
sebagai manusia biasa penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik, saran dan masukan konstruktif
yang bersifat membangun dari semua pihak untuk perbaikan dan penyempurnaan makalah ini. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Kendari, April 2015
Penulis
DAFTAR
ISI
Teks Halaman
Kata Pengantar...................................................................................................
i
Daftar isi...............................................................................................................
ii
I.
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang..........................................................................................
B. Perumusan
Masalah...................................................................................
C. Tujuan
dan Kegunaan...............................................................................
II. PEMBAHASAN
A.
Potensi Lahan Kering
Pada Dataran Tinggi…………………………….
B. Kendala Lahan Kering Pada Dataran Tinggi……………………………
C. teknologi pengelolaan lahan kering………………………………………
D. strategi pengelolaan lahan kering………………………………………..
III. KESIMPULAN
DAN SARAN
A. Kesimpulan................................................................................................
B. Saran..........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Lahan (land)
atau sumberdaya lahan (land resources) menurut Sitorus (2000) adalah
lingkungan fisik yang terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta
benda yang ada diatasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan
tanah. Dalam hal ini tanah juga
mengandung pengertian ruang atau tempat. Sumberdaya tanah merupakan sumberdaya
alam yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia karena sumberdaya alam
diperlukan dalam setiap kehidupan. Menurut Mintzberg (1997), lahan adalah
hamparan di muka bumi berupa suatu tembereng, (segment) sistem terestik
yang merupakan suatu perpaduan sejumlah sumberdaya alam dan binaan. Lahan juga
merupakan wahana sejumlah ekosistem. Lahan merupakan suatu wilayah (regional),
yaitu suautu satuan ruangan berupa suatu lingkungan hunian masyarakat manusia
dan masyarakat hayati yang lain. Menurut pengertian ekologi, lahan adalah
habitat. Penggunaan lahan (land use) adalah setiap bentuk campur tangan
(interfensi) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya,
baik material maupun spiritual (Sitorus, 2000). Dalam hal ini dapat berupa
penggunaan lahan utama atau penggunaan pertama dan kedua (apabila merupakan
penggunaan ganda) dari sebidang tanah, seperti tanah pertanian, tanah hutan,
padang rumput dan sebagainya. Jadi lebih merupakan tingkat pemanfaatan oleh masyarakat.
Pengelolaan
sumberdaya lahan adalah segala tindakan atau perlakuan yang diberikan pada sebidang
tanah untuk menjaga dan mempertinggi produksi lahan tersebut. Lanskap adalah
gabungan fitur-fitur buatan dan alamiah yang membentuk karakteristik permukaan
tanah, yang meliputi aspek spasial, tekstural, komposisional dan dinamika tanah
(Marsh, 1983). Irwan (1992), menyatakan lanskap merupakan wajah dan karakter
lahan atau panorama dengan segala kehidupan apa saja yang ada didalamnya, baik
yang bersifat alami, non alami atau gabungan keduanya yang merupakan bagian
total lingkungan hidup manusia beserta makhluk hidup lainnya.
Motloch
(1993), menyatakan lanskap dalam definisi kontemporernya meliputi daerah yang
masih liar dan daerah yang terhuni. Daerah yang masih liar adalah lanskap alami
dan daerah yang berpenghuni adalah lanskap buatan. Lanskap juga berarti suatu
keadaan pada suatu masa yang merupakan bagian ekspresi dan pengaruh dari
unsur-unsur ekologi, teknologi dan budaya. Pada lahan pasca tambang terjadi
perubahan kemampuan dari muka bumi, sehingga secara estetika tanah pasca
tambang tidak baik, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Untuk itu
perlu dilakukan sesuatu upaya reklamasi lahan agar dapat meningkatkan kualitas
lingkungan secara keseluruhan dan tanah dapat bermanfaatkan kembali.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka di rumuskan
masalah sebagai berikut :
1) Bagaimanakah potensi lahan kering pada
dataran tinggi ?
2) Kendala apa yang terdapat dilahan kering pada dataran tinggi ?
3) Bagaimana cara untuk mengatasi kendala
tersebut ?
C. Tujuan dan Kegunaan
Tujuan
dari makalah ini yaitu untuk mengetahui potensi dan kendala pada lahan kering
di dataran tinggi serta mengetahui cara/metode untuk mengatasi kendala
tersebut.
Kegunaan
dari makalah ini sebagai bahan informasi bagi mahasiswa dan petani potensi dan
kendala pada lahan kering di dataran tinggi dan pendekatan yang di gunakan
untuk mengatasi masalah pada lahan kering di dataran tinggi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Potensi
Lahan Kering Pada Dataran Tinggi
Lahan kering merupakan
salah satu agroekosistem yang mempunyai potensi besar untuk usaha pertanian,
baik tanaman pangan,
hortikultura (sayuran dan buah- buahan)
maupun tanaman tahunan dan peternakan. Berdasarkan
Atlas Arahan Tata Ruang Pertanian Indonesia skala 1:1.000.000 (Pusat Penelitian
dan Pengem- bangan Tanah dan
Agroklimat 2001), Indonesia
memiliki daratan sekitar 188,20 juta ha, terdiri
atas 148 juta ha lahan kering
(78%) dan 40,20 juta ha
lahan basah (22%). Tidak semua lahan kering
sesuai untuk pertanian, terutama
karena adanya faktor pembatas tanah seperti lereng yang sangat
curam atau solum tanah dangkal dan berbatu, atau termasuk kawasan hutan. Dari total luas 148 juta ha, lahan kering yang
sesuai untuk budi daya pertanian
hanya sekitar 76,22 juta ha (52%), sebagian
besar terdapat di dataran rendah (70,71 juta
ha atau 93%) dan sisanya
di dataran tinggi.
Di wilayah dataran rendah, lahan datar bergelombang (lereng < 15%) yang sesuai untuk
pertanian tanaman pangan mencakup
23,26 juta ha. Lahan dengan
lereng 15-30% lebih sesuai untuk tanaman tahunan (47,45 juta ha). Di dataran
tinggi, lahan yang sesuai untuk tanaman pangan hanya
sekitar 2,07 juta ha, dan
untuk tanaman tahunan 3,44 juta ha.
B.
Kendala Lahan Kering Pada Dataran Tinggi
Permasalahan dalam
pengelolaan lahan kering bervariasi pada setiap wilayah, baik aspek teknis
maupun sosial-ekonomis. Namun, dengan
strategi dan teknologi yang tepat,
berbagai masalah tersebut dapat diatasi.
Kesuburan tanah
Pada
umumnya lahan kering memiliki tingkat kesuburan tanah yang rendah, ter- utama
pada tanah-tanah yang tererosi, sehingga lapisan olah tanah
menjadi tipis dan kadar bahan organik
rendah. Kondisi ini makin
diperburuk dengan terbatasnya penggunaan pupuk organik, terutama
pada tanaman pangan semusim. Di
samping itu, secara alami kadar
bahan organik tanah di daerah
tropis cepat menurun, mencapai 3060% dalam waktu 10 tahun (Brown dan
Lugo 1990 dalam
Suriadikarta et al. 2002). Bahan organik memiliki
peran penting dalam memperbaiki
sifat kimia, fisik, dan biologi tanah. Meski-
pun kontribusi unsur hara dari bahan or- ganik tanah relatif rendah, peranannya
cukup penting karena selain unsur NPK, bahan
organik juga merupakan sumber unsur esensial lain seperti
C, Zn, Cu, Mo, Ca, Mg dan Si (Suriadikarta et al. 2002).
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah
adanya tanah masam, yang dicirikan oleh pH rendah (< 5,50), kadar Al tinggi,
fiksasi P tinggi, kandungan basa-basa dapat tukar dan KTK rendah, kandungan besi dan mangan mendekati
batas me- racuni tanaman, peka erosi, dan miskin unsur biotik (Adiningsih dan Sudjadi 1993; Soepardi
2001). Dari luas total lahan kering
Indonesia sekitar 148 juta ha, 102,80
juta ha (69,46%) merupakan tanah masam (Mulyani et al.
2004). Tanah
tersebut didominasi oleh Inceptisols, Ultisols dan Oxisols dan sebagian besar terdapat di Sumatera,
Kalimantan, dan Papua. Lahan kering masam di wilayah
berbukit dan bergunung cukup
luas, mencapai 53,50 juta ha
atau 52% dari total tanah masam di Indonesia. Tanah masam tersebut
umumnya kurang potensial untuk
pertanian tanaman pangan karena tingkat
kesuburannya rendah, lereng curam dan solum
dangkal.
Topografi
Di Indonesia,
lahan kering sebagian besar terdapat di wilayah bergunung (> 30%) dan berbukit
(1530%), dengan luas masing-masing 51,30 juta ha dan 36,90 juta ha
(Hidayat dan Mulyani 2002). Lahan kering berlereng curam sangat peka terhadap erosi,
terutama bila diusahakan untuk tanaman
pangan semusim dan curah hujannya
tinggi. Lahan semacam ini lebih
sesuai untuk tanaman
tahunan, namun ke- nyataannya
banyak dimanfaatkan untuk tanaman pangan, sedangkan perkebunan banyak diusahakan pada lahan datar bergelombang dengan lereng <
15%. Lahan kering yang telah dimanfaatkan untuk perkebunan mencakup
19,60 juta ha (Badan
Pusat Statistik 2005), terutama untuk
tanaman kelapa sawit,
kelapa dan karet.
Kepemilikan lahan
Tantangan yang lebih berat dan sukar di-
atasi adalah permasalahan sosial ekonomi,
antara lain pemilikan lahan oleh
petani cenderung menyempit. Data sensus
pertanian tahun 1993 dan 2003, serta hasil
penelitian Puslitbangtanak pada tahun 2002/2003 (Abdurachman et al. 2005) menunjukkan luas lahan pertanian di Jawa cenderung menurun,
sedangkan di luar Jawa sedikit
meningkat. Di lain pihak jumlah rumah tangga petani (RPT) meningkat
secara signifikan dari 22,40 juta menjadi 27,40 juta dalam sepuluh tahun
terakhir. Luas penguasaan lahan rata-rata nasional menurun dari 0,86 ha menjadi 0,73 ha per RTP.
Sejalan dengan itu, jumlah petani
gurem (luas lahan garapan < 0,50 ha) meningkat
dari 10,80 juta RTP pada tahun 1993 menjadi
13,70 juta pada tahun 2003, atau rata-rata
meningkat 2,40%/tahun. Bila luas lahan
pertanian tidak bertambah secara signifikan seiring dengan laju per-
tambahan penduduk maka jumlah petani gurem akan makin bertambah dan peluang
perambahan hutan meningkat.
C.
TEKNOLOGI PENGELOLAAN LAHAN KERING
Dari segi luas,
potensi lahan kering di Indonesia tergolong tinggi, namun terdapat permasalahan biofisik dan
sosial ekonomi yang harus diatasi untuk
me- ningkatkan produktivitasnya secara berkelanjutan.
Beberapa tindakan untuk menanggulangi
faktor pembatas biofisik lahan meliputi pengelolaan
kesuburan tanah, konservasi dan
rehabilitasi tanah, serta pengelolaan sumber
daya air secara efisien.
Pengelolaan Kesuburan
Tanah
Pengelolaan kesuburan tanah tidak
terbatas
pada peningkatan kesuburan kimiawi, tetapi juga kesuburan fisik dan
biologi tanah. Hal ini berarti
bahwa pengelolaan kesuburan tanah tidak cukup dilakukan
hanya dengan memberikan pupuk saja, tetapi
juga perlu
disertai dengan pemeliharaan sifat fisik
tanah sehingga tersedia lingkungan
yang baik untuk pertumbuhan tanaman, kehidupan organisme tanah, dan untuk
mendukung berbagai proses penting di dalam tanah.
Salah satu teknologi pengelolaan kesuburan tanah yang
penting adalah pe- mupukan berimbang, yang mampu me- mantapkan
produktivitas tanah pada level yang tinggi.
Hasil penelitian Santoso et al. (1995) menunjukkan
pentingnya pemupukan berimbang
dan pemantauan status hara tanah
secara berkala. Peng- gunaan pupuk anorganik
yang tidak tepat,
misalnya takaran tidak
seimbang, serta waktu pemberian dan penempatan pupuk yang
salah, dapat mengakibatkan ke- hilangan unsur
hara sehingga
respons tanaman menurun (Santoso dan Sofyan 2005). Hara yang tidak
termanfaatkan tanaman juga dapat berubah
menjadi bahan pencemar. Praktek
pemakaian pupuk oleh petani
pada lahan-lahan mine-
ral masam, meskipun
pada saat ini masih
dilakukan dengan takaran rendah, dalam jangka panjang dapat menimbulkan ke-
tidakseimbangan kandungan hara tanah sehingga
menurunkan produktivitas tanaman.
Penerapan teknologi pemupukan organik
juga sangat
penting dalam pe- ngelolaan
kesuburan tanah. Pupuk orga- nik dapat bersumber
dari sisa
panen, pupuk kandang, kompos atau
sumber bahan organik lainnya. Selain
menyum- bang hara yang tidak terdapat
dalam pupuk anorganik, seperti unsur hara mikro,
pupuk organik juga penting untuk mem- perbaiki sifat fisik dan biologi tanah. Lahan kering akan mampu menyediakan air dan hara yang
cukup bagi tanaman bila struktur
tanahnya baik sehingga men- dukung peningkatan efisiensi pemupukan.
Jenis
pupuk lain yang mulai ber-
kembang pesat adalah pupuk
hayati (biofertilizer) seperti pupuk
mikroba pelarut fosfat, pupuk mikroba
pemacu tumbuh dan pengendali hama, dan mikro-
flora tanah multiguna. Pupuk hayati selain mampu meningkatkan ketersediaan hara, juga bermanfaat untuk: 1) melindungi akar dari gangguan
hama penyakit, 2) men- stimulasi
sistem perakaran agar ber- kembang sempurna dan memperpanjang usia akar, 3)
memacu mitosis jaringan meristem
pada titik tumbuh pucuk, kuncup
bunga, dan stolon, 4) penawar racun be- berapa logam berat, 5) metabolit
pengatur tubuh, dan
6) bioaktivator
perombak bahan organik.
Di samping pemupukan, pengapuran
juga penting untuk meningkatkan produk- tivitas tanah
masam, antara lain untuk mengurangi keracunan aluminium (Al). Cara
untuk menentukan takaran kapur yang perlu diberikan adalah dengan
me- nentukan sensitivitas tanaman dan kemudian mengukur
kejenuhan Al dalam tanah
dengan analisis tanah (Dierolf dalam Santoso dan Sofyan
2005).
Konservasi Tanah dan Rehabilitasi Lahan
Erosi
merupakan salah satu penyebab menurunnya produktivitas lahan
kering, terutama yang dimanfaatkan untuk usaha tani tanaman
semusim seperti tanaman pangan (Abdurachman dan Sutono 2005; Kurnia et al. 2005). Hasil penelitian me- nunjukkan
budi daya
tanaman pangan semusim tanpa disertai konservasi tanah menyebabkan erosi berkisar
antara 46351 t/ha/tahun
(Sukmana 1994; 1995).
Erosi
bukan hanya mengangkut material tanah,
tetapi juga hara dan bahan organik, baik yang terkandung di
dalam tanah maupun yang berupa input
pertani- an. Erosi juga merusak sifat fisik tanah. Oleh karena itu, penerapan
teknik konser- vasi merupakan
salah satu prasyarat keberlanjutan
usaha tani pada lahan ke- ring. Target yang harus dicapai adalah menekan erosi sampai
di bawah
batas toleransi, dengan
kisaran antara 1,1013,50 t/ha/tahun, bergantung pada sifat tanah dan substratanya (Thompson
dalam Arsyad 2000). Untuk menekan
erosi sam- pai di bawah
ambang batas toleransinya, beberapa jenis teknik
konservasi dapat diterapkan dengan memperhatikan
per- syaratan teknis (Agus et
al. 1999).
Teras bangku merupakan teknik konservasi
yang banyak diterapkan di Jawa dan Bali. Teknik ini telah dikembangkan secara
luas sejak tahun 1975 melalui inpres
penghijauan (Siswomartono et al. 1990). Teras
bangku cukup disukai petani, dan juga efektif mencegah
erosi dan aliran permukaan
(Abdurachman dan Sutono
2005). Beberapa teknik
konservasi lain dapat dijadikan alternatif,
seperti teras gulud untuk tanah yang dangkal (< 40 cm), rorak atau
teknik konservasi vegetatif seperti alley cropping dan strip rumput.
Selain murah, teknik konservasi vegetatif memiliki keunggulan
lain, yaitu dapat ber- fungsi
sebagai sumber pakan dan pupuk hijau atau bahan
mulsa, bergantung pada jenis
tanaman yang digunakan. Dalam prakteknya, penerapan teknik konservasi
mekanik sering dikombinasikan dengan teknik
vegetatif, karena efektif dalam mengendalikan erosi (Dariah et al. 2004; Santoso
et al. 2004) dan
lebih cepat diadopsi petani.
Pengaturan pola tanam dengan
mengusahakan permukaan lahan
selalu tertutup oleh vegetasi
dan/atau sisa-sisa tanaman atau serasah,
juga berperan pen- ting
dalam konservasi tanah. Pengaturan
proporsi tanaman semusim dan tahunan pada
lahan kering juga penting; makin
curam lereng sebaiknya makin tinggi
proporsi tanaman tahunan.
Pengaturan jalur penanaman atau bedengan
yang searah
kontur juga berkontribusi dalam mencegah erosi.
Pengolahan tanah secara intensif
merupakan penyebab penurunan produk tivitas lahan kering.
Hasil penelitian me- nunjukkan bahwa pengolahan tanah
yang berlebihan dapat merusak struktur tanah (Larson dan Osborne 1982;
Suwardjo et al. 1989) dan
menyebabkan kekahatan bahan organik tanah (Rachman et al.
2004). Olah tanah konservasi (OTK) me- rupakan
alternatif penyiapan lahan yang dapat mempertahankan produktivitas
lahan tetap tinggi (Brown et al. 1991;
Wagger dan Denton 1991). OTK dicirikan oleh
berkurangnya pembongkaran atau pembalikan
tanah, mengintensifkan peng- gunaan
sisa tanaman atau bahan lainnya sebagai
mulsa, kadang-kadang (namun tidak dianjurkan)
disertai penggunaan herbisida untuk menekan
pertumbuhan gulma atau tanaman
pengganggu lainnya.
Rehabilitasi lahan-lahan terdegradasi
dapat mendukung optimalisasi lahan kering, antara lain dengan menanam legum penutup
tanah atau tanaman penghasil
bahan organik lainnya, khususnya yang bersifat in situ seperti alley cropping dan strip cropping. Penggunaan
bahan pembenah tanah baik
organik maupun mineral juga dapat merehabilitasi lahan terdegradasi.
D.
STRATEGI PENGELOLAAN
LAHAN KERING
Pertanian lahan kering tidak memerlukan banyak air, seperti
halnya budi daya padi
sawah, sementara ketersediaan lahan kering masih luas. Selain itu,
teknologi pengelolaan lahan kering cukup banyak tersedia. Namun, pemanfaatan kedua komponen tersebut dan pelaksanaannya di lapangan
memerlukan perencanaan dan strategi yang tepat.
Identifikasi Lahan yang Sesuai
Cara yang dapat digunakan untuk meng- identifikasi lahan
yang sesuai untuk per- tanian, terutama lahan
alang-alang dan semak belukar adalah
dengan mengguna- kan peta
penggunaan lahan skala 1:250.000 yang ditumpangtepatkan dengan
peta arahan tata ruang pertanian. Dengan cara ini, diperoleh data tentang lahan
kering cadangan seluas 22,39 juta ha, yang terdiri atas 7,08 juta ha sesuai untuk tanaman
pangan semusim dan 15,31 juta ha untuk tanaman tahunan.
Untuk
memperoleh data yang lebih tepat, harus digunakan
peta tanah
atau peta
kesesuaian dan peta penggunaan lahan dengan skala yang lebih besar,
misalnya 1:50.000 atau lebih baik lagi skala 1:25.000. Selain itu, data biofisik
lahan perlu ditunjang dengan informasi sosial- ekonomi, terutama status kepemilikan
lahan, sehingga pengembangan pertanian tidak terbentur pada permasalahan non- teknis, yang dapat menggagalkan pen dayagunaan lahan kering yang telah
direncanakan.
Seleksi Teknologi Tepat Guna
Teknologi pengelolaan lahan kering untuk pertanian tanaman
pangan telah tersedia, baik teknologi konservasi tanah,
pening- katan kesuburan tanah,
pengelolaan bahan organik tanah,
dan pengelolaan air. Dari sekumpulan teknologi tersebut, perlu diseleksi teknologi
yang tepat
guna, sesuai dengan kondisi lahan
(tanah, air, dan iklim)
dan petani. Oleh karena itu, perlu
diketahui terlebih dulu karakteristik lahan dan kondisi
petani agar teknologi yang terpilih betul-betul efektif dan dapat
di- adopsi petani.
Karakteristik lahan dapat diketahui melalui pemetaan
skala detail (1:50.000 atau 1:25.000), atau lebih detail, skala 1:10.000 atau 1:5.000.
Dengan menggunakan peta
dengan skala sangat detail, pemilihan komoditas dan teknologi dapat dilakukan dengan lebih tepat.
Aspek sosial-ekonomi petani dapat diketahui
dengan melaksanakan survei lapangan, misalnya
dengan menggunakan metode Participatory Rural Appraisal (PRA).
Diseminasi Teknologi
Diseminasi dan adopsi teknologi
pada umumnya berjalan lambat, termasuk
teknologi pengelolaan lahan
(tanah, air dan iklim).
Teknologi tersebut disebarkan
melalui seminar, simposium, jurnal serta
media cetak dan elektronik. Namun
akses penyuluh apalagi petani ke media tersebut
relatif terbatas, sehingga cara dan media penyampaian tersebut
kurang efektif. Oleh karena itu, diperlukan metode
diseminasi secara langsung kepada petani, yang lebih
mendekatkan sumber teknologi
dengan petani sebagai calon pengguna
teknologi.
Salah satu terobosan dalam diseminasi teknologi
pertanian adalah melalui Prima Tani (Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian 2006),
yang
bertujuan untuk mempercepat diseminasi dan adopsi teknologi inovatif, terutama yang dihasilkan Badan
Litbang Pertanian. Melalui program
ini, pertanian lahan kering, termasuk pengembangan budidaya padi gogo,
palawija dan sebagainya, misalnya dengan introduksi benih
unggul, pe- mupukan, dan rotasi tanaman,
dapat berkembang lebih cepat dan mampu meningkatkan produksi bahan pangan
nasional secara signifikan.
Peningkatan Penelitian Pertanian Lahan Kering
Penelitian padi saat ini lebih terfokus
pada padi sawah, yang telah
menghasilkan berbagai varietas unggul dan
teknologi budidaya seperti pengendalian
hama/ penyakit, pemupukan, dan pengairan.
Penelitian dan pengembangan padi gogo
jauh tertinggal. Sejalan
dengan itu, minat dan upaya petani untuk mengembangkan
padi gogo juga relatif rendah, tercermin dari luas pertanaman setiap tahun yang
jauh lebih rendah dari luas lahan sawah. Ke
depan, penelitian dan pengembangan
pertanian lahan kering perlu mendapat perhatian yang lebih besar, ter- masuk
pembiayaannya. Akan lebih baik bila penelitian diarahkan pada
teknologi pengelolaan padi gogo
dan palawija
sebagai bagian dari sistem usaha tani ( farming system)
yang disesuaikan dengan kondisi spesifik lokasi. Penelitian
hendaknya dilaksanakan secara kompre- hensif, dalam arti peneliti tidak
bekerja sendiri-sendiri, tetapi dalam suatu tim dari berbagai
disiplin ilmu, sehingga
dapat menghasilkan teknologi
yang efektif dan menguntungkan.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas maka dapat di
simpulkan sebagai berikut :
1)
Di wilayah dataran
tinggi, lahan yang sesuai untuk tanaman pangan mencakup 2,10 juta ha. Namun,
lahan tersebut sebagian besar
telah digunakan untuk berbagai kepentingan,
baik pertanian
maupun nonpertanian. Lahan kering yang dapat digolongkan
sebagai cadangan untuk tanaman pangan semusim tersedia sekitar 7,08 juta
ha, yang saat ini berupa lahan alang-alang atau semak-belukar
2)
Upaya pengelolaan lahan kering
untuk meningkatkan produksi bahan pangan menghadapi permasalahan teknis dan sosial-ekonomis,
antara lain lahan berlereng terjal,
kesuburan tanah rendah, kemasaman tinggi, kekurangan air irigasi,
dan status kepemilikan lahan tidak jelas. Berbagai masalah tersebut
perlu diatasi dengan menerapkan teknologi, kelembagaan dan kebijakan pemerintah yang tepat.
3)
Berbagai teknologi pengelolaan lahan kering telah tersedia,
mencakup pengelolaan kesuburan
tanah, pengendalian erosi (konservasi tanah), rehabilitasi
lahan, dan pengelolaan sumber daya air secara efisien.
Yang menjadi masalah adalah lemahnya
diseminasi teknologi inovatif kepada para petani dan lambat nya adopsi teknologi tersebut.
B.
Saran
Adapun
saran untuk makalah ini yaitu perlu dilakukan penelitian tentang pengeloaan
lahan kering di dataran tinggi agar bisa dikelola secara efektif dan efisien.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman, A., A. Mulyani,
G. Irianto, dan N. Heryani. 2005.
Analisis potensi sumber daya
lahan dan air dalam mendukung pemantap-
an ketahanan pangan. hlm. 245-264. Dalam Prosiding Widyakarya
Nasional Pangan dan Gizi VIII,
17- 19 Mei
2004. Ketahanan
Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. LIPI bekerja sama
dengan Badan Pusat Statistik, Departemen
Kesehatan, Bappenas, Departemen Pertanian,
dan Kementerian Riset dan Teknologi,
Jakarta.
Abdurachman, A. dan S. Sutono. 2005. Teknologi pengendalian erosi lahan berlereng.
hlm. 103-145. Dalam Teknologi
Pengelolaan Lahan Kering: Menuju pertanian
produktif dan ramah lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat,
Bogor.
Adiningsih, J.S. dan M.
Sudjadi. 1993. Peranan sistem bertanam
lorong (alley cropping) dalam
meningkatkan kesuburan tanah pada lahan
kering masam. Risalah Seminar Hasil
Penelitian Tanah dan Agroklimat.
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Agus, F., A. Abdurachman, A. Rachman, S.H. Talao’ohu, A. Dariah, B.R. Prawiradiputra,
B. Hafif, dan S.
Wiganda. 1999.
Teknik
Konservasi Tanah dan Air. Sekretariat
Tim Pengendali Bantuan Penghijauan
dan Reboi-
sasi Pusat. Departemen Kehutanan, Jakarta.
Agus, F., E. Surmaini, dan N. Sutrisno. 2005.
Teknologi
hemat air dan irigasi suplemen.
hlm. 223-245. Dalam Teknologi Pengelola- an
Lahan Kering: Menuju pertanian produktif dan ramah lingkungan.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Amien, L.I., S. Purba, B. Sugiharto,
dan A . Hamdani. 2001. Analisis pasokan dan ke- butuhan air
untuk pertanian pangan dan kebutuhan lainnya. Laporan
Akhir Peneliti- an. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Arsyad, S. 2000. Pengawetan
Tanah dan Air.
Departemen Ilmu-Ilmu Tanah, Fakultas Per-
tanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian.
2006. Pedoman Umum Prima Tani. Badan
Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2005. Statistik Indonesia tahun 2005. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
Brown, R.E., J.L. Havlin,
D.J. Lyons, C.R. Fenster,
and G.A. Peterson.
1991. Long-term tillage and nitrogen
effects on wheat production in a wheat fallow rotation. In
Agronomy Abstracts. Annual Meetings ASA, CSSA, and SSSA,
Denver Colorado,
27 October–1 November 1991. 326 pp.
Dariah, A., U. Haryati, dan T. Budhyastoro. 2004. Teknologi konservasi
mekanik. hlm. 109-132. Dalam Konservasi Tanah pada Lahan
Kering Berlereng. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat,
Bogor.
Hidayat, A. dan A. Mulyani. 2002. Lahan kering untuk
pertanian. hlm.
1- 34. Dalam
A. Abdurachman, Mappaona, dan Saleh (Ed.).
Pengelolaan Lahan Kering Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat,
Bogor.
Isa, I. 2006. Strategi
pengendalian alih fungsi tanah pertanian. Prosiding Seminar Multi- fungsi
dan Revitalisasi
Pertanian. Balai Penelitian Tanah, Bogor. hlm. 17.
Kurnia, U., Sudirman,
dan H. Kusnadi. 2005. Teknologi rehabilitasi dan reklamasi
lahan. hlm. 147-182. Dalam
Teknologi Pengelola- an
Lahan Kering: Menuju pertanian produktif dan ramah lingkungan.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Larson, W.E. and G.J. Osborne. 1982.
Tillage
accomplishments and potential. In Predicting Tillage Effects on Soil
Physical Properties and Processes. ASA Special Publ. No. 44.
Las, I., S. Purba, B. Sugiharto,
dan A. Hamdani 2000. Proyeksi kebutuhan dan
pasokan pangan tahun 2000-2020.
Pusat Penelitian Tanah dan
Mulyani, A., Hikmatullah, dan H. Subagyo.
2004. Karakteristik dan
potensi tanah masam lahan kering di Indonesia. hlm. 1-32. Dalam
Prosi- ding Simposium Nasional Pendayagunaan
Tanah Masam. Pusat Penelitian
dan Pe- ngembangan
Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Pusat Penelitian
dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. 2001. Atlas Arahan Tata Ruang Pertanian
Indonesia Skala 1:1.000.000. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat,
Bogor. 37 hlm.
Rachman, A., A. Dariah,
dan E. Husen. 2004. Olah tanah konservasi. hlm. 189-210. Dalam Teknologi Konservasi
Tanah pada Lahan Kering Berlereng.
Pusat Penelitian dan Pe- ngembangan Tanah dan Agroklimat,
Bogor.
Santoso, D., I P.G. Wigena, Z. Eusof, and C. Xuhui. 1995.
The Asian land management
of sloping lands network: Nutrient balance.
Siswomartono, D., A.N. Gintings, K. Sebayong,
and S. Sukmana. 1990. Development of con- servation farming systems, Indonesia
Country Review. Regional
Action Learning Programme
on the Development of Conservation
Farming Systems. Report of the Inaugural Workshop. Chiang
Mai, 23 February-1 March 1990.
ASOCON Report No. 2.
Sitorus, S.H.P. (1995), Evaluasi Sumberdaya Lahan,
Tarsito, Bandung.
Soepardi, H.G. 2001.
Strategi
usaha tani agri- bisnis berbasis
sumber daya lahan.
hlm. 35-52.
Prosiding Nasional Pengelolaan Sumber Daya
Lahan dan Pupuk Buku I.
Pusat
Penelitian dan Pengembangan
Tanah
dan Agroklimat, Bogor.
Subagyono, K. 1996. Water Use Efficiency and Available Water Capacity
for Irrigated Corn in Reclaimed
Saline Soil. MSc. Thesis.
International Training Center for
Post- Graduate Soil Science, Faculty
of Science,
University of Gent, Belgium.
Subagyono, K., U. Haryati, dan S.H. Talao'ohu. 2004. Teknologi konservasi air pada pertani- an lahan
kering. hlm.
151- 188. Dalam Konservasi
Tanah pada Lahan Kering Berlereng. Pusat Penelitian dan Pengem-
bangan Tanah dan Agroklimat, Bogor